MITOS NABI KHIDIR

12 Jun


 

Ibnu Jauzi berkata, “Dalil bahwa Khidir tidak kekal di dunia ada empat. Dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ yang ditetapkan dari ulama dan dapat diterima akal.

Menurut Al Qur’an adalah firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad).” (QS. Al Anbiya’ : 34)

 

Menurut Sunnah, adalah hadits:

“Apakah aku telah tunjukkan kepadamu sekalian, bahwa disetiap penghujung seratus tahun tidak ada lagi seorang pun yang kekal di muka bumi ini.” (HR: Muttafaqun ‘alaihi).

 

Dalam riwayat Muslim dari Jabir secara marfu’, “Tidak ada satu jiwa pun yang bernafas yang melampaui seratus tahun sedang dia pada hari ini masih hidup…”

 

Menurut ijma’ yang ditetapkan ulama, hal itu telah disebutkan oleh Bukhari, Ali bin Musa ar Ridha, Ibrahim al Harabi dan Abu Husain bin al Munadi.

 

Menurut akal: Seandainya dia berumur panjang pasti ada ayat Al Qur’an dan keterangan disebutkan di dalam Al Qur’an, maka Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan dalam firman-Nya:

“…seribu tahun kurang lima puluh tahun…” (QS. Al Ankabut: 14)

 

Seandainya dia masih hidup pasti dia datang kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan berjihad bersamanya. Lantas dimana Khidir ketika para syuhada perang Badar, Khandaq, dan peristiwa lain berperang? Mengapa ia tidak ikut serta dalam membebaskan Qadisiyah dan Yarmuk? Mengapa ia tidak bertemu dengan Abu Bakar dan Umar? Mengapa sebelum itu ia tidak mendapat kehormatan melihat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam? Padahal (jika benar ia hidup menurut pemahaman orang-orang Shufi) ia menemui seluruh wali-wali sejak pertama?

 

Ibnu Jauzi rahimahullah dalam al Manar al Munif dan dia berkata sebelumnya, “Hadits-hadits yang menyebutkan tentang Khidir dan hidupnya semuanya dusta dan tidak ada hadits yang shahih tentang hidupnya.”

 

Shufi pertama yang memalsukan kisah shufistik Nabi Khidir adalah Muhammad bin Ali bin Husain at Tirmidzi yang bergelar al Hakim (bukan Ahlu Hadits Imam  at Tirmidzi), dan wafat pada akhir abad ketiga hijriyah.  (Al Fikru Ash Shufi, oleh Abdurrahman Abdul Khaliq).

 

Riwayat  tentang perjumpaan Umar bin Abdul ‘Aziz dengan Nabi Khidir.

 

Ya’qub bin Sufyan meriwayatkannya dalam Tarikhnya dari jalan Abdul Aziz ar Ramli dari Dhamrah bin Rabi’ah dari as Sari bin Yahya dari Riyadh bin Ubadah, dia berkata,

“Umar bin Abdul Aziz keluar untuk shalat dan ada seorang tua yang bertelekan pada tangannya, lalu aku berkata dalam diriku, ‘Orang tua ini sangat dingin perangainya.’ Maka tatkala dia shalat dan memulainya, aku menyusulnya, lalu aku berkata, ‘Semoga Allah memperbaiki Amir dari orangtua yang bertelekan pada tanganmu?’ Dia (Umar) berkata, ‘Wahai Riyah apakah kamu tidak tahu dia?’ Aku berkata, ‘Ya.’ Dia (Umar) berkata, ‘Aku tidak mendugamu kecuali orang yang shalih, itu saudaraku Khidir, dia datang padaku lalu mengajariku, sesungguhnya aku bertanya tentang masalah umat dan sesungguhnya aku akan berlaku adil.

 

Abu Husain bin al Munadi berkata, “Keterangan Riyah seperti angin selain itu semua keterangannya lemah, keadaannya tidak lepas dari satu perkara ini, kalau tidak dinisbahkan kepada perawi-perawi yang tsiqah dalam keadaan lalai atau sebagian mereka sengaja memasukkannya.

 

Nabi Khidir shalat dengan Madzhab Syafi’i.

 

Diriwayatkan secara dusta dari Ahmad Sirhindy, bahwa beliau menulis:

“…pada hari itu aku melihat dalam halaqah subuh, bahwa Ilyas dan Khidir hadir dalam bentuk rohani. Maka berkatalah Khidir dalam penyampaian rohani, ‘Kami dari alam arwah. Yang Haq telah memberi ruh kami kemampuan sempurna untuk berbentuk dan berserupa dengan bentuk-bentuk jasad. Dari ruh itu keluar gerakan-gerakan dan diam jasmaniah, ketaatan dan ibadah  jasadiyah yang keluar dari fisik.’ Di sela-sela itu aku berkata, “Kamu shalat dengan madzhab Syafi’i.’ Ia menjawab, ‘Kami tidak terbebani dengan syariat-syariat. Akan tetapi, demi menjaga kepentingan kewalian quthb yang terikat pada kami. Sedangkan ia bermadzhab Syafi’I, maka kami shalat di belakangnya dengan madzhab Syafi’i…dst” (Al Muntakhabat min al Maktubat, Ahmad al Faruky, hal. 91, Turki).

 

Nabi Khidir pengikut Hanafi, bukan Syafi’i.

 

Dalam kitab Ma’arijul Albab halaman 44, dari beberapa Syaikhnya, menyebutkan:

“Bahwa Khidir hadir di majelis fiqih Abu Hanifah setiap hari selepas shalat  subuh untuk belajar syariat. Ketika Abu Hanifah meninggal, Nabi Khidir memohon kepada Tuhannya untuk mengembalikan ruhnya ke kuburnya demi kesempurnaan ilmu syariatnya. Dan, sungguh Nabi Khidir mendatangi Abu Hanifah di kuburnya untuk mengaji ilmu syariat darinya di dalam kubur. Ia melakukan hal itu selama lima belas tahun hingga ia menyempurnakan ilmu syariat.”

 

Lihatlah kedustaan yang besar itu. Mengapa Nabi Khidir tidak belajar syariat dari tangan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam? Mengapa juga ia tidak belajar dari Khulafa’ur Rasyidin, padahal mereka adalah manusia yang paling mengerti syariat. Abu Hanifah sendiri pernah berkata, “Tinggalkanlah pendapatku kepada ucapan para shahabat Rasulullah, sesungguhnya mereka lebih mengetahui tentang wahyu.”

 

Oleh Abu Fahd Negara Tauhid.

 

Referensi :

– Kutubun, Akhbarun, Rijalun, Ahadits tahtal Mijhar, oleh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad as Sadhan.

– Al Fikru Ash Shufi, oleh Abdurrahman Abdul Khaliq.

 

Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apakah Nabi Khidir (masih hidup) sebagai penjaga di sungai-sungai dan lembah-lembah ; dan apakah ia mampu menolong orang-orang yang tersesat jalan jika memanggilnya ?

Jawaban.
Yang benar menurut para ulama adalah bahwa Nabi Khidir telah wafat sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana tersebut dalam firmanNya Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal ?” [Al-Anbiya : 34]

Dan diperkirakan Nabi Khidir masih hidup sampai bertemu dengan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sesudah itu, maka ada hadits yang menunjukkan bahwa dia meninggal setelah Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dengan jarak waktu yang telah ditentukan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang hal ini dengan bersabda.

“Artinya : Tidaklah kalian melihat pada malam kalian ini, bahwa sesungguhnya siapa yang umurnya (berkepala) seratus tahun tidak (tersisa) pada hari ini di atas permukaan bumi seorang pun”[ Bukhari I/37, 141, 149. Muslim dengan Syarah Nawawi XVI/89, Abu Dawud IV/516, Tirmidzi IV/520]

Atas dasar ini, maka keadaan Nabi Khidir adalah sebagai orang mati yang tidak dapat mendengar panggilan siapa yang memanggilnya, dan tidak mampu menjawab siapa yang menyerunya, dan tidak mampu menunjukkan jalan kepada siapa yang tersesat jalan ketika meminta petunjuknya.

Adapun perkiraan bahwa ia masih hidup sampai saat ini, maka ini adalah masalah ghaib. Keadaannya seperti masalah-masalah ghaib yang lainnya ; tidak boleh kita berdo’a kepadanya dan meminta kebaikan kepadanya dalam keadaan susah maupun senang.

Shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan sahabat-shabatnya.

[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah Fatwa I/170 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 08/I/ 1424H]

10 Responses to “MITOS NABI KHIDIR”

  1. fardan 16 April 2012 at 21:54 #

    kalau menurut saya,tidak tau soalnya saya belum lahir didunia. ha…ha…ha…ha..ha..ha..ha…ha…ha..he..he..he..he.he…

    • haadi 30 June 2012 at 09:40 #

      ladunni(rahasia) bro

  2. hani 4 March 2013 at 18:59 #

    wallahualam bissowab

  3. aziz 17 July 2013 at 23:52 #

    Anda percaya atw tdk jk nabi isa as masih hidup sampai skrg n diangkat di langit ?? Sprti itulah nabi khidir as adax!! Wallahu a’lam bissowab

    • negaratauhid 8 August 2013 at 19:14 #

      Nabi Isa masih hidup karena ada dalil shahih yg menjelaskan. Nabi khidir??? Mana dalilnya??? Sampaikan kepada ana dalilnya, ana tunggu…..

  4. cah angon 29 July 2013 at 21:51 #

    Pd dsrnya baik penulisnya ataupun pembacanya sama2 buta adanya(kebenaran milik Allah).ini masalah khilafiyah….yg tdk perlu di ributkan.walopun jg bnyak dalil2 yg mendukung perihal diatas.
    Kalo mau tau keberannya yg sesungguhnya ya kita mesti kenal,dekat/qorib sama yg maha benar Allahuta’ala.
    Jd siapapun orangnya tdk berhak untuk menyalahkan pemahaman yg lain sebelum kita ma’rifatullah(kenal/tau,dekat sama yg maha benar).

Leave a reply to haadi Cancel reply