KENAPA DOKTER DI NEGARA BARAT PELIT MEMBERIKAN OBAT KEPADA ANAK YANG SAKIT (PENTING UNTUK ORANGTUA)

1 May

Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku …tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.

Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.

“Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection.” kata dokter tua itu.

“Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?” batinku meradang. Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.

“Obat penurun panas Dok?” tanyaku lagi.
“Actually that is not necessary if the fever below 40 C.”

Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung? Kesalku kian membuncah.
Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.
Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.

“Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok,” kataku.
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. “Apakah dia sudah minum suatu obat?”

Aku mengangguk. “Ibuprofen syrup Dok,” jawabku.

Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,”Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja.”

Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran! Batinku meradang.
Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku.”Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!” Seperti rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.

“Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!”

Suamiku menimpali, “Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?”
Aku menarik napas panjang. “Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?”

Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!

Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.

“Just drink a lot,” katanya ringan.

Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal.

“Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?” tanyaku tak puas.

“This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik,” jawabnya lagi.

Ggrh…gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam hati.
“Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan,” kataku ngeyel.

Dengan santai si dokter pun menjawab,”Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak koq.”
Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.

“Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini.” Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anakanakku sendiri. Dan walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak. Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.

Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke huisart.

“Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok.?

Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,”Nothing to worry. Just a viral infection.”

Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagilagi aku sebal.

“Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,” aku ngeyel seperti biasa.

Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. “Do you know how many times normally children get sick every year?”

Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. “enam kali,” jawabku asal.

“Twelve time in a year, researcher said,” katanya sambil tersenyum lebar. “Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat,” sambungnya.
Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini kurang belajar.

Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya begini: “Batuk – pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 – 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 – 3 minggu selama bertahun-tahun.” Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.

“Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam penanganannya,” Lanjut artikel itu. “Pertama, pengobatan yang diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 – 3 minggu dan perlu berobat lagi.

Lingkaran setan ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun.”

Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda ‘dipaksa’ tak lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.

Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata ‘pengobatan rasional’. Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm… kalau begitu, sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.

Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, ibuprofen dipakai secara luas untuk anakanak. Tetapi karena resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. “Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe,” kataku pada suamiku.

Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif ‘terlindungi’ dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, ‘memaksa’ agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter ‘menjual’ obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.

Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?

Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!

Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya ‘hanya’ untuk konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja.

Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.

Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien ‘bergerak’, masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.

Dikutip dari buku “Smart Patient” karya dr. Agnes Tri Harjaningrum
Sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=263895757016284&set=a.172674282805099.43033.100001875866018&type=1

Artikel Terbaru :

45 Responses to “KENAPA DOKTER DI NEGARA BARAT PELIT MEMBERIKAN OBAT KEPADA ANAK YANG SAKIT (PENTING UNTUK ORANGTUA)”

  1. erikadiandra 12 May 2012 at 00:30 #

    ups… di indonesia, ibuprofen juga dpt mengiritasi lambung…ga cuman di belanda setahuku..

  2. erikadiandra 12 May 2012 at 00:32 #

    oiya bu dr mw tanya..apa bener tu baru 40 derajat celcius baru dikasi pct?? ga dibawah itu??

    • zie 3 May 2013 at 12:28 #

      dokter2 di Indonesia suka memberikan obat dikarenakn dari resep yg di buatnya dia mendapatkan royalty dr perusahaan tersebut.

      • Rkap Oz 14 December 2013 at 15:59 #

        itukan sebagian kecil sebenarnya

        selain itu mengapa antibiotik diberikan, karena di indonesia tidak sebersih di belanda bukan? contohnya jajanan anak2 ataupun makanan di tempat2 makan. dipersiapkan dengan kurang higenis. tentu jangankan virus, bakteripun ada. alhasil di indonesia penyakit itu merupakan infeksi bakteri dan virus sekaligus.

  3. Syaiful 14 May 2012 at 14:23 #

    Sungguh sebuah perjalanan hidup yg teramat berat yg harus dilalui demi sebuah tujuan mulia.

  4. faizah 21 May 2012 at 10:37 #

    sy br tau,,,slama ini anak sy sakit sdkit pasti ke.dr n mndptkn obat serta antibiotik….trimaksih atas infox dr.agnes…

  5. "ngelindur" 23 May 2012 at 20:17 #

    Izin Share…

  6. bia 25 May 2012 at 13:57 #

    klo nunggu 40 drajat panasnya, bagi anak yg punya bakat kejang apa nd keburu kejang dluan tuw ??malah tambah masalah kan !!!

  7. NggakBisaGituDong 29 September 2012 at 15:14 #

    Tega bener, ya, dokter-dokter sini. Dulu gw juga suka kesel kalo ke dokter nggak dapet apa-apa. Udah gitu, kalo gw udah tahu sakit apa, tetep harus ke dokter umum dulu (nggak boleh langsung ke spesialis kayak di Jakarta). Terus dokter umumnya baru ngasih surat referensi buat ke spesialis kalo dia rasa perlu (kalo dia rasa nggak perlu, ya ndak jadi pergi ke spesialis). Tapi sekarang gw udah ngerti, ternyata dokter sini banyak yang ngasih anti-biotik buat penyakit virus. Gw bahkan pernah ke dokter di sini, dokternya blak-blakan ngomong, “ini kayak gejala virus, nanti dikasih anti-biotik aja.” GUBRAK! Hehehe. Nggak tahu juga, itu dokternya yang nggak ngerti atau, atau gw lagi dibohongin. Mau berprasangka baek tapi syusaaah…

    Temen gw pulang dari luar langsung jadi pinter ngeracik bahan-bahan alami.

  8. kitty 26 October 2012 at 19:11 #

    Setiap anak panas, yang di khawatirkan jika terjadi stip atau kejang, karena salah satunya akan merusak sel-sel otak anak, saya pribadi, kalau anak panas pasti ambil tindakan pertama, paracetamol, jika 3 hari panas tidak turun, baru bawa ke dokter anak. thanx unt izin share

  9. iyut 18 November 2012 at 21:29 #

    Mengherankan. Kalau anda yang dokter saja nggak tahu penggunaan obat bagaimana kami para awam? Apa yang diajarkan di bangku kuliah?
    Kemudian, masalah obat penurun panas. Kalau di Belanda suhu badan 40 masih bisa “dinetralisir” dengan lingkungan yang dingin kalau di Indonesia suhu 40 sudah lampu merah. Anak saya pernah kejang di suhu 40. Bisa lebih gawat,
    Masalah lain kalau demam dibiarkan lebih dari 3 hari. Kalau itu DB gimana ? Keburu nyawa melayang ? Di belanda mungkin gak banyak penyakit aneh karena daerahnya beda. Kita hidup di iklim tropis yang lebih berat. Virus dan bakteri lebih tahan karena suhunya hangat dan lembab.
    Mudah-mudahan bisa menambah informasi dan ada manfaatnya

    Salam.

  10. heni 21 November 2012 at 16:53 #

    saya setuju klo influenza itu tidak perlu menggunakan antibiotik. krn anak2 saya pun tdk d beri antibiotik bila batuk pilek. tp bagaimana kabarnya klo anak yang panasnya tdk sampai 40 derajat celcius sudah kejang-kejang yang bahasa awamnya step. di biarkan saja bgitu ???

  11. putriarisnawati 21 December 2012 at 21:10 #

    Artikel anda sangat bagus saya suka dengan apa yang anda utarakan ini sangat bagus.

  12. chia 22 December 2012 at 15:25 #

    info yg sangat berharga makasih

  13. rini 19 February 2013 at 21:56 #

    Maaf abu fahd,saya memberitahukan mengenai artikel ini. Dorkter agnes tri harjaningrum sudah memberikan klarifikasi mengenai isi artikelnya. Silakan dilihat di catatan dokter agnes mengenai artikel ini.

  14. ummi 11 March 2013 at 13:23 #

    Ijin share ya sis..

  15. ancha 28 March 2013 at 11:00 #

    wah mantab nie,, thq ya infox bermanfaat skali ;(y)

  16. rini 17 April 2013 at 21:10 #

    maaf abu fahd, karena artikel ini banyak disalahfahami oleh kalangan pembaca. bahkan ada yang sampai tingkat cukup ekstrim: anti dokter dan obat (kimiawi) pada kondisi yang sangat membutuhkan. sayangnya saya tidak bisa ngelink klarifikasi dari penulis artikel ini. karena sarana yang kurang mendukung . hanya saja sudah dipublish di akun dokter agnes( penulis artikel) agnes tri harjaningrum, di group imunisasi Gesamun(open grup), grup room for children, dsb. sangat diharapkan abu fahd memuat artikel yang berisi klarifikasinya. untuk menghindari multitafsir dan sebagai ‘kafarah’ rasa bersalah dari penulis artikel. terimakasih.

  17. mr..han 7 June 2013 at 08:06 #

    artikel ini sungguh masuk akal dan sungguh benar benar bermanfaat ..
    anak saya umur 20 bulan pernah mengalami panas tinggi,hingga kejang, saya bawa kerumah sakit swasta yang cukup bagus,dan biayanyapun tidak murah menurut saya, hari sabtu jam 4 pagi masuk rs sampai hari senin siang baru nongol dokter spesialis anak, sebelumnya dirawat sama dokter piket , setiap saya tanyakan kepada susternya dimana dokter spesialnya jawabanya , sudah di kasi resep sama dokter spesial anak prihal resep yang harus diberikan via telpon katanya sedangkan dokter baru ada acara senin siang atau sore baru hadir, padahal tiap dikasi obat anak saya tambah panas bahkan sampai hidungnya mengeluarkan darah, saya tak tahan ,saya ingin tahu anak saya sakit apa juga belum dikasi tahu, katanya cuma panas hasil tes bagus, akirnya rawat inap saya cabut dengan tidak mudah karena saya harus menandatangani dan dikasi pejelasan macem macem, ,, , walapun saya bukan dokter atau dukun anak, namun saya merasakan ada kesalahan cara pengobatan anak saya, , , wal hasil setelah anak saya keluar , obat tetap saya beri tapi apa yang terjadi seperti biasa anak saya mukanya merah , sampai hidungnya keluar darah lagi,, pusing dan pusing pikiran dan hati saya. , akhirnya saya bawa anak saya kebidan dekat rumah ,, bidan melihat dua botol obatnya sambil dengan sabar memeriksa anak saya,, dia tersenyum sambil bilang obat ini obat dosis tinggi mungkin tidak cocok buat anak saya,, dan dia bilang untuk anak kalau panas cukup paracetamol ya pak kasian anaknya , kalau panasnya masih nanti bawa sini lagi,, terus saya tanya anak saya kenapa ya bu,, ini kalau dilihat gejala awal campak mungkin pak, tapi belum kelihatan, dan saranya sembari para cetamolnya dikasi, kalau bisa cari kelapa hijau ,airnya buat basuhi tubuhnya,, ehhhhh ternyata benar,, para cetamol saya kasi anak saya panasnya reda, tidurnya jadi nyeyak ,, dan ternyata campaknya muncul juga,, saya cuma berfikir kalau anak saya masih di rs itu bagai mana nasip anak saya.. semoga bermanfaat,, bahwa pengalaman lebih berharga dari hanya sekedar gelar dan resep yang ampuh.. semoga bermanfaat

    • maz_tedjo 18 June 2013 at 10:03 #

      Setuju ama Komen yang diatas. Kalo emang belum terpaksa banget anak ku gak aku bawa ke dokter, pa lagi dokter2 sekarang banyak yang gak jelas. Kalopun harus ke dokter, cari info dokter yang gak sembarangan ngasih obat (cari info nya jangan pas anak sakit baru nyari2).
      kalo cuma batuk pilek ato demam selalu aku kasih air putih banyak2 n minum air kelapa hijau (untung juga anakku doyan). Obat2 an macam paracetamol paling kl panas dah diatas 39C. Pe sekarang umur 4 tahun Alhamdulillah jarang sakit, cos jarang minum obat2 an ama antibiotik dari sejak umur 1 tahun.

  18. Vivi 25 July 2013 at 21:00 #

    Iya benar,kata dosen saya yg tnggal d belanda jg dperlakukan seprti itu stiap berobat k dokter. Selain itu ibuprofen merupakan obat yg menghambat cox 1 yg nerperan sbagai pelindung mukosa lambung dan cox 2 sbgai mediator inflamasi. Shngga apbla dgunakan akn mnimbulkn iritasi lambung krna ibuprofen jg mnghmbat cox 1. Ad obat inflamasi yg hnya mnghmbat cox 2 tp efek smpngnya pada kbh bhya yaitu pd jantung. Maka dari itu paracetamol adlh obat yg paling aman sampai abad ini, cara jerja nya mnghmbat cox 3 d saraf pusat shngga tdk mnmbulkn efek smping, nmun penggunaan melebihi dosis maks akan mnyebabkn kerusakan hati.
    Terima ksh atas artikelnya sgt ermanfaat bgi pasien dn dikter indonesia.
    Salam, vivi (mahasiswa farmasi ugm)

    • Rkap Oz 14 December 2013 at 16:01 #

      cox 3 tidak memunculkan efek pada manusia

  19. Jodi Visnu 2 August 2013 at 12:31 #

    Ibuprofen tidak sebaiknya diberikan saat febrisnya masih diobservasi karena seingat saya bisa membiaskan gejala radang.
    Dan kalau menunggu di atas 40 deg C, orang tua manapun akan kuatir yah. Kasihan kan 🙂

  20. dwi xavier 22 August 2013 at 17:04 #

    q salah satu ibu yg suka gak tenang klo liat baby sakit..tp setelah baca atrcle ibu..sy jd lebih sadar..dan relax…tkhs for your information..

  21. ks_Farm 9 September 2013 at 18:42 #

    Yg harus dipahami disini, bukan diberikan obat atau tidak. tapi acuannya hasil diagnose dokter. dari sudut pandang saya yg seorang Farmasis, diagnose dokter rasional. titik.

  22. acong 13 September 2013 at 01:07 #

    jelas lah ibuprofen = NSID iritasi lambung bu!!… gmn sih lulusan FK ?!! deskripsinye lebai amat bikin malu

  23. noor 16 September 2013 at 06:05 #

    Ijin share …

  24. no 20 September 2013 at 12:50 #

    kalau anak saya panas, saya selimuti..

  25. FDW 20 September 2013 at 23:46 #

    Wah artikelnya bagus… saya jadi tambah ilmu terimakasih bu dokter

  26. elojust4u 8 October 2013 at 13:31 #

    perhatikan juga iklan2 obat di indonesia yang ga bertanggung jawab…
    contoh : BILA SAKIT BERLANJUT SEGERA HUBUNGI DOKTER…
    Tanggung jawab kah????

  27. Imroatul 22 October 2013 at 18:37 #

    izin share

  28. uy 23 November 2013 at 23:48 #

    :):):)

  29. BiarMampus 24 November 2013 at 23:37 #

    kalo demam, pilek, batuk, dan lain-lain ; biarin aja sampe 3 hari. Kalo jadi meningitis ensefalitis, tinggal salahin dokternya yang tidak beri obat.

  30. zho 1 December 2013 at 16:41 #

    oh, ternyata begitu yaw. Untung aja anakku kemarin sakit cuma dikasih paracetamol. Thanks atas infonya

  31. Naila 6 December 2013 at 09:33 #

    Untung yg slama ini aku lakukan trnyata bnr. K dokter cm klo anak bnr2 parah sakitnya. Klo cm pns, batuk, pilek, mencret. Tinggal dibalur minyak kayu putih aja ubun2 perut dada. Beres deh. Obat2an yg aku sediakan d rmh jg jarang bgt d mnm. Umurnya 2,5 thn tp gk smp 10x priksa k dokter ato bidan.

  32. satukataku 2 January 2014 at 10:47 #

    Sayangnya, orangtua apalagi yang masih baru alias baru punya anak, pasti sudah panik duluan. Yang kedua karena enggak pengen lihat anaknya menderita, makanya cari cara tercepat agar segera sembuh. Jadi jarang yang sampai memikirkan sampai jangka panjang. Termasuk saya juga sih.. Artikel yang mencerahkan..

Leave a reply to bia Cancel reply